coba cari.??? mana saya.????
itu...!!!paling kanan, yang berdiri dekat org yg berbaju orange.????
hehehehehehehe./,/,./,/.,./,/.,
about all
Sabtu, 31 Maret 2012
sebaiknya tak terulang
KOMPAS
Kamis, 22 Apr 1999
Tragedi Sambas Menurut Antropolog dan Sosiolog
BENTURAN BUDAYA DAN RASA KEADILAN
Kamis, 22 Apr 1999
Tragedi Sambas Menurut Antropolog dan Sosiolog
BENTURAN BUDAYA DAN RASA KEADILAN
TRAGEDI Sambas sudah berlangsung dua
bulan, menghancurkan sekitar 3.000 rumah, dan menewaskan lebih 200 orang.
Mengapa amuk massa di Sambas bisa terjadi? Kata antropolog senior dari
Universitas Indonesia, Prof Dr Parsudi Suparlan (61), “Itu ungkapan frustrasi
sosial yang mendalam dan berkepanjangan yang dirasakan orang-orang Melayu atas
perbuatan sewenang-wenang orang Madura sebelumnya.”
Parsudi
menarik kesimpulan itu sesudah memimpin tim pakar bentukan Markas Besar
Kepolisian RI membuat penelitian di tempat kerusuhan, 9-20 April 1999. Mereka
meneliti di tiga wilayah kajian, yaitu Pontianak, Sambas/Singkawang, dan
desa-desa kantung konflik. Tim itu beranggota pakar antropologi, sosiologi, dan
psikologi: Prof Dr S Budhisantoso, Prof Dr Sardjono Jatiman SH, Prof Dr Sarlito
W Sarwono, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie. Bersama mereka ada dua polisi dari
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Letkol (Pol) Drs Bambang Wahyono MSi
dan Letkol (Pol) Drs Agus Wantoro MSi.
Tim ini
mewawancarai masyarakat Melayu, Dayak, dan Madura. Mereka mendatangi warga di
desa/kecamatan seperti di Pemangkat dan Jawai (Kabupaten Sambas), bertatap muka
dengan masyarakat Melayu di Keraton Sambas, dan masyarakat Melayu/Dayak di aula
mes pemda setempat di Singkawang. Wawancara dengan tokoh Madura Singkawang
dilakukan di hotel di Singkawang, demi keamanan bersama.
MENURUT
Budhisantoso (62), pakar antropologi dari UI, penyebab kerusuhan adalah faktor
kebudayaan dan environmental scarcity (keterbatasan sumber daya dan
lingkungan). Orang Melayu yang-seperti orang Jawa dan Sunda, menghindari
konflik dan lebih suka hidup damai-menghadapi tekanan lingkungan akibat
pembangunan nasional yang tidak menjamin rasa adil, tak ada demokrasi
berpolitik dan berbudaya. Hutan-hutan mereka diambil untuk keperluan pengusaha
HPH. Mereka menghadapi masyarakat Madura yang sebagian besar mencari keuntungan
materi dengan cara apa pun.
“Orang
Melayu-seperti orang Dayak-mencari nafkah sekadar memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Ketika arus pendatang makin deras, orang Melayu melihat, lapangan
kerja yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata membuahkan keuntungan,
misalnya sektor angkutan umum. Orang Melayu bukannya kalah bersaing, tetapi
dalam budayanya sudah ditanamkan untuk menghindari konflik,” katanya.
Benturan
budaya yang semakin kuat membuat orang Melayu akhirnya meledak. Persoalannya,
masyarakat Melayu belum menyiapkan pranata untuk memenangkan persaingan
menguasai sumber daya. Yang ada sekarang, mereka tetap merasa diri
terinjak-injak dan teraniaya. Persoalannya menurut sosiolog UI Prof Dr Sardjono
Jatiman (58), masyarakat pendatang memiliki kultur kekerasan. Katanya, “Untuk
menyelesaikan setiap persoalan selalu dengan senjata. Mereka memiliki budaya
miskin yang menghalalkan segala cara, sehingga terjadilah benturan-benturan
budaya.”
Sosiolog
Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie
mengungkapkan, solusi jangka pendek adalah mengeluarkan untuk sementara waktu
warga Madura dari kantung-kantung konflik di Kabupaten Sambas. Sesudah itu,
tambah Sardjono, mereka meminta maaf kepada masyarakat Melayu (dan juga Dayak).
***
PERTIKAIAN
antaretnis yang terjadi berulang kali di Kalbar, menurut Sardjono, karena
masing-masing kelompok tidak belajar dari pengalaman untuk hidup bersama secara
menguntungkan. “Ibaratnya, pelajar sekolah tidak naik kelas berkali-kali. Dan
kalau sampai sebelas kali, itu sudah keterlaluan,” katanya.
Parsudi
Suparlan melihat masyarakat pendatang tidak belajar dari diri sendiri dan dari
orang lain. Tegasnya, “Kok di daerah lain orang Madura bisa akur, tetapi di
Kalbar selalu bertikai. Ini disebabkan masyarakat Melayu tidak tegas menuntut.”
Menurut Parsudi, masyarakat Madura menyadari kekeliruan mereka. Dalam pertemuan
dengan tim pakar Mabes Polri, mereka bersedia mengoreksi warganya yang
melanggar hukum. Perbuatan oleh pribadi dan individu, tidak boleh dianggap
sebagai perbuatan kelompok. Kalau satu orang mencuri, satu kampung tidak
kemudian “mendukung” individu yang berbuat salah, seperti yang terjadi selama
ini.
Singkatnya,
kata Sardjono, aturan main harus adil. Pelanggaran hukum harus diselesaikan
melalui lembaga adat dan proses penegakan hukum yang adil. Tetapi ini semua
tidak terjadi di Sambas. Kasus penyerangan perkampungan Melayu di Desa Parit
setia (Kecamatan Jawai) oleh masyarakat Madura pada Hari Idul Fitri 19 Januari,
kata Budhisantoso, seharusnya dapat diselesaikan melalui proses hukum yang
adil. Masyarakat Melayu melihat dan mengalami ketidakadilan ini bukan cuma
satu-dua kali, tetapi sudah bertahun-tahun. Mereka merasa seperti dijajah.
Kemarahan terungkap dalam amuk massa, karena menganggap hukum tak lagi adil.
Dalam berbagai kasus, begitu ada warga pendatang ditangkap polisi, satu kampung
mendatangi kantor polisi dan mengintimidasi petugas serta pihak yang melaporkan
mereka. Warga melihat petugas tidak tegas karena dengan mudahnya melepaskan
penjahat, preman yang meresahkan, hanya karena uang. Rasa keadilan yang tidak
terpenuhi serta benturan-benturan budaya yang terjadi lebih 50 tahun lamanya di
Sambas, melahirkan “pengadilan rakyat” yang membuahkan sebuah tragedi umat
manusia. (adhi ksp)
Rabu, 28 Maret 2012
IBOST (International Borneo Sumpit Tournament)
kurang jelas kh...!!!
kami anak" sumpit lagi buat acara di rumah betang kota singkawang dengan walikota singkawang "Hasan karman"
Langganan:
Postingan (Atom)